Palangka Raya, Sarita News – Nama Letnan Muda Udara II Cornelius Willem mungkin tak sering muncul dalam buku sejarah. Namun, di balik senyapnya arsip masa lalu, tersimpan kisah seorang pemuda Kalimantan yang pernah mempertaruhkan nyawa demi menghubungkan daerahnya dengan pusat republik yang baru berdiri.

Pada 1947, Willem bersama belasan rekannya menjalankan misi berbahaya: mendirikan pemancar induk untuk menyambungkan Kalimantan dengan ibu kota Yogyakarta di tengah agresi militer Belanda. Sebuah tugas yang, jika berhasil, menjadi bukti bahwa Kalimantan berdiri tegak bersama Republik Indonesia.

Awal Misi: Seruan dari Seberang Pulau

Misi itu bermula dari surat resmi yang dikirimkan Gubernur Kalimantan, Ir. Muhammad Noor, kepada KSAU Komodor Udara S. Suryadarma. Dalam suratnya, Noor menegaskan pentingnya membangun jalur komunikasi dan mengirimkan putra daerah melalui penerjunan:

“Dipandang perlu memulai pasukan payung untuk mengirimkan pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan ke Kalimantan.”

Menindaklanjuti seruan itu, Willem bersama sekitar 60 pemuda Dayak dan 12 pemuda lain dari Sulawesi, Madura, dan Jawa dipanggil untuk diseleksi. Hanya 14 yang terpilih masuk ke pelatihan intensif di pedesaan dekat Pangkalan Udara Maguwo, di bawah komando Mayor Tjilik Riwut.

Terjun ke Gelapnya Hutan Kalimantan

Menggunakan Pesawat Dakota RI-002 yang diterbangkan Robert “Bob” Earl Freeberg, rombongan penerjun berangkat menuju Kalimantan. Mereka dibekali satu instruksi penting: dalam tiga hari harus ada kabar bahwa misi berhasil.

Namun malam itu, Kalimantan menunjukkan sifat alaminya. Hutan yang gelap pekat dan rimbun membuat titik pendaratan sulit terlihat. Parasut-parasut yang terbuka justru membawa mereka jatuh jauh dari lokasi semestinya. Dalam sekejap, para penerjun terpencar di belantara.

Hari berganti hari, tetapi tak ada kabar kembali ke Yogyakarta. Pusat komando akhirnya menyimpulkan bahwa tugas itu gagal.

Dikejar NICA, Bertahan di Belantara

Kenyataannya jauh lebih berat. Setelah berhasil saling menemukan di tengah hutan, rombongan Willem justru menghadapi ancaman baru. Misi rahasia itu rupanya tercium oleh pasukan NICA.

Beberapa anggota tertangkap, sebagian lagi gugur. Perjuangan mereka tak lagi sekadar menjalankan misi komunikasi, tetapi bertahan hidup dari pengejaran musuh dan keterbatasan di tengah hutan yang tak kenal kompromi.

Warisan Keberanian dari 17 Oktober 1947

Walau secara operasional dinyatakan gagal, aksi penerjunan 17 Oktober 1947 itu tetap dicatat sebagai tonggak penting perjuangan Kalimantan. Para pemuda Dayak dan rekan-rekan mereka menunjukkan bahwa tanah Borneo berdiri teguh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penghormatan bagi mereka tak berhenti pada cerita sejarah. Tanggal misi tersebut, 17 Oktober 1947, ditetapkan sebagai Hari Jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), satuan elite TNI AU yang berakar dari keberanian para penerjun pertama itu.

Di antara nama-nama itu, Letnan Muda Udara II Cornelius Willem berdiri sebagai simbol kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan seorang anak bangsa yang ingin memastikan Kalimantan tetap berada dalam pangkuan republik.

Di Mata Sang Anak

Di dalam keluarga, sosok C. Willem dikenal sebagai pribadi yang disiplin dan rendah hati hingga akhir hayatnya. Gambaran itu terutama melekat kuat di mata anak tunggalnya dari pernikahannya dengan Muriyati, yakni Apriyani Yustina (62).

“Beliau (C. Willem) sangat low profile dan disiplin. Kebanggaannya ketika melaksanakan tugas sebagai bagian dari TNI AU di masa lalu tidak membuatnya arogan dan tidak merasa perlu validasi,” ujar Apriyani.

Sebagai anak, Apriyani senang mendengar cerita-cerita heroik ayahnya maupun rekan-rekannya di masa perjuangan. Namun, menurutnya, C. Willem selalu menekankan agar tidak pernah mengejar penghargaan apa pun atas setiap tindakan yang dilakukan.

“Beliau selalu menekankan untuk menjalankan kewajiban. Jangan mengejar penghargaan atau validasi. Bagianmu adalah menyelesaikan kewajiban itu. Kalau kamu mengejar validasi, maka kamu akan gagal total,” tuturnya.

C. Willem lahir di Kuala Kapuas pada 5 November 1926. Ia tumbuh di alam Kalimantan yang penuh misteri, menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1933–1940), kemudian Hoogere Dames School (HDS) (1941–1943), Sekolah Pertukangan (1944–1945), serta mengikuti berbagai kursus seperti mengetik, bahasa Inggris, dan administrasi.

Dalam dunia militer, C. Willem mengikuti berbagai pendidikan dan latihan, antara lain Latihan Pasukan Payung (1947), Latihan Parasutis, serta pendidikan SAM Administrasi (1952–1953). Keinginannya untuk terus menguatkan kapasitas diri membuatnya juga menguasai beberapa bahasa: Inggris, Belanda, dan Indonesia.

Di hari tuanya, menurut Apriyani, C. Willem sempat merasakan berbagai keterbatasan, baik karena kondisi fisik yang terkena stroke maupun kondisi ekonomi keluarga. Kendati demikian, sang ayah tidak pernah sekalipun melarang anaknya untuk bermimpi.

“Di tengah keterbatasan, saya justru terus didorong oleh bapak untuk tetap bermimpi. Itu sangat berkesan bagi saya,” tuturnya.

C.Willem wafat pada 14 Desember 1989 lalu dan sempat dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Barimba, Kuala Kapuas, sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Sanaman Lampang di Kota Palangka Raya, tepatnya pada Hari Pahlawan, tepatnya Senin 10 November 2025.

Simak Berita Sarita News Melalui Google Berita