Palangka Raya, Sarita News – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Selatan (Walhi) dan Walhi Kalimantan Tengah (Kalteng) gelar aksi memperingati hari lingkungan hidup sedunia di Jembatan Barito, Kalsel.
Aksi tersebut dilakukan untuk merefleksikan kembali upaya pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca, tepatnya pada Minggu, (1/6/2025) lau.
Walhi menilai, saat ini sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil dan sumber daya alam ekstraktif. Dan, hal Ini membuat menjadi semakin dekat dengan krisis iklim dan krisis ekologis.
Dipilihnya Jembatan Barito, sebab dianggap merupakan simbol penghubung dua provinsi yang berada di atas Sungai Barito yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang kini tengah berada dalam krisis ekologis akut.
Selain itu, Sungai Barito juga merupakan saksi bagaimana hutan hujan tropis Kalimantan mengalami deforestasi yang masif dari waktu ke waktu akibat berbagai macam aktivitas ekstraktif salah satunya pertambangan batubara.
Sungai Barito, yang sejak dahulu menjadi nadi kehidupan masyarakat lokal dan bentang ekologis penting, kini telah direduksi menjadi jalur logistik utama pengangkutan sumber daya alam yang dieksploitasi tanpa kendali.
Ratusan tongkang batubara hilir-mudik setiap hari, membawa kekayaan bumi ke luar pulau, namun meninggalkan krisis lingkungan, konflik sosial, dan kerentanan bencana bagi masyarakat lokal.
Hasil pemantauan Walhi menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, deforestasi di Kasel dan Kalteng meningkat signifikan, seiring dengan perluasan konsesi pertambangan batubara.
Kawasan hutan yang sebelumnya menjadi ruang hidup masyarakat adat dan sumber ketahanan ekologis kini berganti menjadi lubang-lubang tambang, jalan hauling, serta terminal batubara.
Menurut catatan Walhi, Tahun 2023 Kalsel mengalami deforestasi seluas 16.067 hektar sedangkan di Kalteng deforestasi juga terjadi lebih besar pada tahun 2023 dan 2024 mencapai total lebih dari 63.000 hektar berdasarkan laporan Auriga Nusantara, data tersebut menjadikan Kalimantan secara umum sebagai pulau dengan penyumbang deforestasi terluas se Indonesia.
Walhi Kalsel sendiri juga mencatat seluas 399 ribu hektar lahan telah dibebani izin pertambangan. Beban izin pertambangan ini juga mengancam kelestarian karst di Kalsel mencapai seluas 356 ribu hektar.
Sementara di Kalteng luas perizinan batubara mencapai 1 juta hektar dan sebagian besar berada di DAS Barito, Sehingga beban perizinan industri ekstraktif tersebut juga secara langsung mengancam ekosistem di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.
“Setiap batang kayu yang tumbang untuk tambang batubara adalah simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungan hidupnya,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq kepada awak media, Sabtu (7/6/2025).
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan kebijakan yang cenderung memihak kepada korporasi tambang. Sedangkan, di Kalteng, pembiaran terhadap perluasan tambang bahkan menjangkau kawasan gambut dan sempadan sungai, yang semestinya menjadi kawasan lindung ekologis.
“Deforestasi tidak hanya menghancurkan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, tetapi juga mempercepat krisis iklim dan memperparah kerentanan masyarakat adat dan lokal terhadap bencana ekologis,” jelasnya
Ia mengungkapkan, masyarakat adat dan lokal yang selama ini menjaga hutan justru dijadikan korban dalam skema pembangunan yang eksploitatif sumber daya alam.
“Pemerintah tidak hanya gagal melindungi mereka, tetapi seringkali justru berpihak pada kepentingan modal yang menyebabkan konflik agraria yang masif di Kalteng, ” ungkap Bayu Herinata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng.
Dalam aksi simbolik di atas Jembatan Barito, Walhi membentangkan spanduk bertuliskan ‘Hentikan Deforestasi, Tambang Merusakan Hutan, Sungai dan Masa Depan Masyarakat Adat, Transisi Energi Sekarang, Save Meratus #End Coal Now,’.
Selain itu, pihaknya juga melakukan Susur Sungai Barito di sekitar kapal tongkang Batubara yang menjadi potret penghisapan sumber daya alam dan kondisi kerusakan lingkungan akibat tambang.
Walhi menegaskan, Sungai Barito hari ini bukan hanya menjadi saksi bisu, tetapi juga korban dari sistem ekonomi ekstraktif yang menghancurkan daya dukung dan daya tampung lingkungan Kalimantan.
Simak Berita Sarita News Melalui Google Berita
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan