Samarinda, Sarita News – Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Jefri Edi Irawan Gultom menyampaikan pidato dengan tajuk ‘Terima Kasih GMKI’ dalam pembukaan Kongres GMKI ke XXXIX di Kota Samarinda, Sabtu (17/5/2025).
Membuka pidatonya, pria yang akrab dengan sapaan JG ini mengutip dari pernyataan terkenal dari Thomas Stearns Eliot (1888-1965) seorang penyair keturunan Inggris-Amerika yang dalam refleksinya menulis ‘Kita tidak berhenti menjelajah dan akhir dari semua penjelajahan kita adalah kembali ketempat kita memulai dan mengenalnya pertama kali. Waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, dia berjalan tanpa bisa dipercepat dan diperlambat, tak seorang pun mampu memutar balik arah dalam senyapnya, waktu menguji segala hal, termasuk kepemimpinan,’.
Di tengah arus zaman yang terus berubah, GMKI menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan atau AI kini bukan lagi wacana masa depan, melainkan kenyataan sehari-hari yang merubah cara manusia berpikir, bekerja, berelasi, bahkan memercainya.
Globalisasi mencairkan batas-batas budaya, nilai dan identitas. Dunia kampus tak lagi menjadi ruang lokal, melainkan bagian dari ekosistim global. Informasi mengalir tanpa sekat, tapi krisis makna juga meningkat. Kesenjangan digital, radikalisme, ketimpangan ekonomi, hoax juga menjadi bayang-bayang gelap kemajuan yang tak tampak gemilang.
Dalam kon teks seperti ini agama ditantang untuk tampil, bukan sebagai benteng ekslusif dogmatis, melainkan sebagai pelita yang memberi arah dan makna. Iman Kristen tidak cukup hanya tinggal dalam tembok gereja, ia harus menjelma dalam keberpihakan sosial, etika teknologi, narasi keadilan, dan cara kita memaknai kemanusiaan.
Saya merefleksikannya dalam tiga (3) kata, yakni Teknologi, Iman, dan Tanggungjawab sosial.
Kita hidup di era yang tidak sederhana, perkembangan teknologi digital dan kecerdasan sosial atau AI telah merubah dunia. Kampus bukan lagi tempat kita belajar teori, tapi ladang pertempuran narasi, ideologi, dan disinformasi.
Kita menghadapi fenomena sosial baru, polarisasi, disrupsi budaya, dan krisis makna dikalangan generasi muda. Kita hidup dengan realitas baru, era digitalisasi dan kecerdasan buatan atau AI. Informasi begitu cepat, namun kerap dangkal. Dunia semakin terhubung. Ironisnya, kita semakin terasing dan menghadapi krisis dimensi, identitas, ekologi keadilan, dan relasi antar manusia. Teknologi menawarkan kecepatan, tapi bahaya dehumanisasi, jejak kemajuannya meminggirkan yang lambat, namun merangkul yang lihai beradaptasi.
GMKI tidak boleh kehilangan arah, sebagai organisasi yang hidup ditengah gereja, perguruan tinggi dan masyarakat, kita harus mendidik kader yang peka terhadap zaman, namun teguh dalam iman. GMKI membutuhkan kader yang tidak hanya bicara di mimbar, tapi juga bekerja nyata di akar rumput. Yang tidak hanya hapal doktrin, tapi bisa memaknai iman dalam aksinya berorganisasi, dalam etika teknologi, relasinya dalam iman lintas budaya.
Maka kedepan pendidikan kader GMKI harus di perluas dan di perdalam. Pertama, literasi teknologi, agar kita tidak tertinggal dalam dunia digital, tapi mampu memberi arah moral dalam penggunaan teknologi. Kedua, teologi tekstual yang mampu berdialog dengan globalisasi dan pluralitas, tanpa kehilangan kekuatan rohaninya.
Ketiga, analisis sosial yang tajam, agar kader GMKI tidak buta terhadap ketidak adilan struktural di masyarakat. Keempat, kepemimpinan transformatif, yang tidak hanya memimpin organisasi, tapi juga menggerakkan perubahan.
Kita hadir di momen ini bukan untuk mengubah keinginan, melainkan untuk menjaga kontinuitas eksistensi organisasi agar tetap setia pada akar, namun berani bertumbuh. Oleh karena itu, semua kader rumah biru dipanggil untuk berpikir jernih dan bertindak bijaksana, bukan hanya pewaris masa depan, tetapi juga penjaga nurani masa kini.
Momen istimewa ini bukan sekedar pergantian kepemimpinan, tapi perjumpaan spiritual dan intelektual. Kita refleksikan jejak langkah gerakan ini dan menimbang ulang kesetiaan kita. Sebagai kader terhadap visi GMKI untuk gereja, perguruan tinggi, dan masyarakat, kita harus merancang jalan baru untuk masa depan yang relevan, kontekstual, dan profetik.
Samarinda bukan tempat yang kebetulan, disini ditengah alam yang menjadi saksi pergulatan pembangunan bagi bangsa ini. Kita seperti diingatkan bahwa rentan waktu soal sejarah masa lalu dan masa depan itu sangat dekat, pesona hijaunya hutan borneo, beragam suku agama, dan golongan yang berdampingan, suasana keramahan masyarakat dayak yang egaliter, sungguh mengagumkan bagi kita untuk menyambut baik cita-cita ‘Indonesia Emas 2045’ yang ditandai dengan komitmen pemerintahan sejak bapak Jokowi dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dengan kabinet Merah Putih dalam menginisiasi pembangunan IKN.
Atas nama GMKI kami berterima kasih dengan para menteri, gubernur, Kapolri, Kapolda, PangDam, dan seluruh Muspida provinsi yang telah banyak membantu kelancaran dan suksesi Kongres ini. Maaf untuk satu dan hal lain yang tidak berkenan.
Kepada seluruh cabang dan kader di pelosok negeri, kalianlah denyut nadi gerakan ini, kepada senior terima kasih atas pendampingan dan relasi yang terus dijalankan, kami tidak bisa berjalan sendiri tanpa jejak yang di wariskan. Atas nama rekan-rekan Pengurus Pusat GMKI memohon maaf untuk semua hal yang tidak berkenan di hati.
Terima kasih GMKI atas kepercayaan dan proses panjang yang membentuk saya dan teman-teman. Terima kasih juga atas dinamika, kritik, dukungan, dan doa yang menyertai. Kita hadir disini, bukan untuk memenangkan suara, tetapi untuk memenangkan kepercayaan sejarah. Karena apa yang diputuskan hari ini akan menentukan masa depan, berani menulis BAB baru yang lebih relevan. Kita tidak tau persis bentuk masa depan, tapi bahwa kita tau masa depan itu akan menuntut kader yang tidak hanya cerdas, dan terampil, tetapi berakar dalam iman, berwawasan global serta berpihak pada kemanusiaan.
Kata Barack Obama ‘Kita berbeda, dan itu tidak hanya boleh, tapi itulah yang membuat kita kuat’.
Kongres itulah yang membuat kita kuat. Kongres bukan tempat untuk membangun sekat, tapi arena utuk memperkuat kesatuan. Jadikanlah kongres ini ruang yang membebaskan dan mencerahkan.
Ut Omnes Unum Sint…!!!
Simak Berita Sarita News Melalui Google Berita
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan